welcome and join with me......
Kamis, 26 Agustus 2010
Suara anak-anak Alam
Sesekali aku merekam keindahan itu, sebelum akhirnya sampai di sebuah rumah seorang mantri. Jemari kami mulai menggigil, belum terbiasa dengan dingin angin. Tiga orang bocah berpakaian amat sederhana, atasan kaos gomblor dan celana pendek di atas lutut menyambut kami dengan penuh kehangatan, seraya berkata, “Agus, Anak Alam”. Dengan penuh keyakinan kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Sebuah awal yang mengagumkan.
Gerimis mulai menyapa kami yang hendak melanjutkan perjalanan menjenguk kawan-kawan anak alam di atas sana, di Desa Blandingan, Kintamani. Ternyata jalan yang kita tempuh kali ini penuh dengan tantangan. Tidak lagi hanya sekadar panjang, berliku atau berbatu, tapi juga terjal, sempit, penuh cekungan, dan licin. Perlahan dan penuh kepastian kami lalui semua itu, hingga kemudian terdengar lamat-lamat seruan anak-anak. Memang benar, setibanya di sebuah wantilan berpagar kayu, puluhan anak-anak alam berbaris, sambil melambai berseru ke arah kami.
Betapa bahagianya mereka, betapa riang senyum itu. Dan aku lebih bahagia lagi bisa dipertemukan dengan anak-anak asuhan sang ‘alam’. Wajah-wajah itu, tak bisa lepas dari ingatanku, suara-suara itu selalu mengisi halaman-halaman pagi hariku. Dengan penuh semangat dan keberanian, mereka segera berbaris layaknya menghadiri pelajaran di sekolah. Mereka tidak peduli walau harus bertelanjang kaki, atau berpakaian penuh lumpur setelah membantu orang tua menyabit rumput di ladang, atau harus menggendong adik-adiknya yang masih bayi.
Tak lama berselang, ketika anak-anak asyik bernyanyi, dari kejauhan, terlihat seorang anak perempuan berlari tergesa-gesa, barangkali ingin ikut bergabung, belajar bersama-sama. Rambutnya berantakan, pakaiannya basah, ia segera mengambil barisan di belakang. Kuperhatikan anak itu, betapa miris diriku ketika melihat lalat-lalat mendekat dan hinggap di kaki, tangan, kadang juga diwajahnya. Tapi ia tak peduli, ia sama sekali tidak hirau.
Sementara, di depan seorang bocah laki-laki membacakan sebuah puisi berjudul layang-layang. Kata seorang teman, puisi itu sering ia bacakan sambil memetik cabai di ladang atau menunggui ternaknya makan. Bisa kau bayangkan bukan, bagaimana ia membaca puisi di sebuah ladang yang lapang dengan diiringi musik berupa suara alir sungai, kicauan burung-burung, ketukan bambu-bambu, atau gesekan dedaunan. Pastilah sangat menyenangkan.
Sebelum akhirnya kami mesti berpisah, beruntung aku sempat mendengar mereka mengutarakan impian-impiannya. Beberapa di antaranya ada yang ingin menjadi guru, dokter, polisi, suster, bahkan ada seorang anak yang dengan lugunya berkata, ”Saya ingin jadi tukang penyabit rumput”. Ya, apapun impian mereka, semuanya akan tercapai dengan caranya masing-masing. Ia bisa menjadi pemimpin penyabit rumput untuk ratusan atau mungkin ribuan sapinya.
Aku terdiam sejenak, dan bertanya pada diriku, ‘Apa impianmu?’. Setelah melihat anak-anak itu, aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Tapi aku ingin sekali kelak suatu hari mendengar mereka berhasil meraih mimpi-mimpi itu. Aku jadi semakin yakin, setelah seorang rekan bergumam, “Entah mengapa, aku percaya, anak itu akan seorang model yang sukses”. Aku hanya tersenyum.
Begitulah semua itu terjadi, sebuah kehidupan yang tak pernah terbayangkan dalam benak kita. Semoga suara dan semangat anak-anak alam itu terbawa gaungnya hingga ke celah tersempit negeri ini.
cheerrsss
sud
LIVE IN LOVE WITH THE CHILDREN OF NATURE THROUGH EDUCATION
After read that news, I began to think it deeply. I am trying to break down that case to find out the main causes. How could it happen? Definitely, the factor is not only one. It was related to social, education, physical, and also financial problem. But, I do believe that the key is education. It is the basic element to create a better world. Only by providing education we could help them to come out from that horrible thing.
I created my vision then. “I envision a world where children, especially in rural area reach their full potential through education to enable them live in love in peaceful and harmonious world.” In creating this statement, I was inspired by Victor Hugo’s quote, “The man who opens a school door, closes a prison.”
Besides, the case above also reminded me with thousands disadvantages children who live in Blandingan village, Kintamani, the remotest area in Bangli district, Bali Province, Indonesia. I met them about 3 (three) months ago. They called themselves The Children of Nature. Most of them could not continue their study, at least they just graduate from elementary school. They do not have any access of information and technology, education, healthcare, even protection. They lack of everything.
Based on the brave conversation with several children there, they told me that, In Blandingan, there is only one elementary school with two till three teachers which come teach just two till three times in a week. Besides, they need to walk about 2 (two) hours to go school. And if they want to enter junior high school, they must go to city and it needs a huge amount of money. Cause of those things, they decide to stop studying.
As a result, they just stay in village, do everything what their parent command, such as help them in the field, looking after their younger sister or brother, and selling something like food door to door. They totally forget to study. And their parents seem never mind about this, because they only think about food. Perhaps, on certain situation, when the family got financial problem, they might be the next victim of parent’s terrible deed.
Actually, children, whose age like ‘white paper’, have their own world. Probably, in their mind, this world is full of beautifulness, sincerity, and they just laughter every day. In creating their future, those children, The Children of Nature, need to get proper education. As elder people, we could not contaminate that ‘paper’ with something bad. We have to protect them; we have to give back their own world.
What should we do then? I think the simple and doable thing that we can do is find out young teacher that willing to be volunteer to teach in a nice way which hopefully could motivated, inspired, strengthen, and also increase children’s confidence. For three till six months, those young teachers will stay in that rural area.
As the first step, we will hold teacher training, cooperate with some foundation or NGO like Karuna Bali Foundation and also institution such as IKIP PGRI BALI (university for student who willing to be teacher). As sustainability of this idea, we will try to engage others people to do charity; it could be scholarship, stationary, food, etc. Then, hopefully, we could bring some children to junior, senior, even university.
If most of children in this world, particularly, who live in rural area get proper education, I do believe that they able to create a better future. They will start to open their mind; they will know whether something right or wrong; they will able to protect themselves; even they will understand how to solve any problem in this world. In addition, this kind of action also could increase youth solidarity and awareness to sharing with each other.
What we do just all about love. We hope that the children and all God’s creation could live in love in peaceful and harmonious world. Do not let that eleven age girl’s case, happen to other children. Act now together for children. By doing simple thing, we make a great change for the betterment of life. Yes, we can.
cherrsss,
sud
Selasa, 27 April 2010
Threats to marine life
(bring out by citizen of the ocean)
- When I walk along the beach, along a waterway or in nature, I try not to disturb animals.
- I do not buy souvenirs that are made from animals: seashells, starfish, seahorses, etc.
- I write a report on protecting the ocean and nature. I ask my friends, parents and classmate to read it.
- I visit exhibition or I participate in an excursion to learn more about water or the ocean. I bring my family, friends or classmate.
- I learn to know and respect the environment in which I play.
- I do not bother animals or move the stones under which they live. I respect the pants that anchor soil (especially on dunes), I do not pick them.
- I do not throw waste into nature; I look for a bin or keep it until I find a bin later.
- I plant a tree
- I take a discovery walk along a river, lake or by the sea with family, friends or classmate.
- I participate in an activity during World Ocean Day or World Environment Day.
any idea?????
Jumat, 22 Januari 2010
Children of Heaven: Cermin Kejernihan dan Ketulusan Anak-Anak
Mereka sedang kebingungan mencari jalan untuk mendapatkan sepatu yang hilang agar Zahra dapat pergi ke sekolah keesokan harinya. Sementara, adalah mustahil mereka melaporkannya pada orangtua mereka. Sebab akan fatal jadinya kalau sampai ayah ibunya tahu kalau Ali telah menghilangkan sepatu Zahra dalam perjalana pulang. Begitulah kamera dengan cermat merekam gerakan buku yang berpindah-pindah, dari Ali ke Zahra dan begitu seterusnya.
Itulah cuplikan adegan yang mengantarkan penonton menyaksikan film “Children of Heaven” arahan sutradara Iran, Majid Majidi yang memang kerap menampilkan potret perjuangan anak-anak dalam beberapa film garapannya.
Ali, bocah miskin berusia sekitar 9 – 10 yang tak sengaja menghilangkan atau lebih tepatnya kehilangan sepatu milik Zahra, adiknya, ketika membeli kentang. Ia pulang ke rumah diliputi rasa bersalah dan bertekad akan mencari sepatu itu sampai dapat. Hanya saja, ia harus menemukannya hari itu juga sebab keesokan harinya Zahra harus pergi ke sekolah. Apa daya, setelah berulang mencari, tak juga kunjung ditemukannya.
Merekapun mengambil sebuah keputusan yang tentunya sangat tidak menyenangkan. Pagi hari, Zahra akan menggunakan sneaker miliki Ali dan pada tengah hari mereka akan berjumpa pada sebuah lorong, tempat di mana mereka akan bertukar alas kaki. Begitulah yang dilakukan terus-menerus selama sepatu itu belum ditemukan.
Setiap peristiwa diperhatikan dengan matang dan detail. Selama usaha pencarian itu, bagaimana Majid menampilkan sepatu menjadi sesuatu yang begitu berharga bagi Zahra. Dan lebih dari itu, bagaimana seorang anak kecil harus berjuang sendiri dan rela bersabar. Ketulusan mereka semakin terpancar ketika akhirnya mengetahui bahwa sepatu itu dipakai oleh seorang anak yang satu sekolah dengan Zahra, hanya saja baru diketahui belakangan, anak itu jauh lebih miskin dari mereka.
Film berdurasi 89 menit ini, proses pengambilan gambarnya dilakukan di Tehran dengan latar yang sangat sederhana. Pemutaran perdana Children of Heaven ini berlangsung pada Februari 1997 dalam acara Festival Film Teheran Fajr. Meskipun telah dirilis 13 tahun yang lalu dan beberapa kali sempat ditayangkan ditelevisi, namun jiwa film Iran berhasil menjadi nominasi Academy Award for Best Foreign Language Film,ini tetap menarik perhatian banyak orang.
Di Bali misalnya, ketika Bentara Budaya Bali bersama Komunitas Sahaja dan Udayana Scientific Club menampilkan film ini sebagai pembuka dalam acara Sinema Bentara pada Jumat, 22 Januari 2010 lalu, antusias penonton bisa dikata cukup menggembirakan.
Kebahagiaan dalam Kebersamaan
Sebagaimana judul yang diangkat Majid, film ini memang menyuguhkan potret anak-anak yang jauh dari kebencian, demdam, ataupun iri dengki, namun lebih pada kegigihan, kepolosan, serta rasa berbagi keindahan dalam kebersamaan itu.
Menuju akhir cerita, dikisahkan Ali akan mengikuti sebuah kompetisi lari. Adapun salah satu hadiahnya adalah sepatu. Dan hal itu membuat Ali semakin bersemangat dan berjanji kepada Zahra untuk mendapatkannya. Simaklah bagaimana percakapan dua bocah ini yang begitu mengharukan.
“Zahra, aku membawa kabar baik. Aku akan mengikuti pertandingan lari.”
“Benarkah?”
“Iya, aku akan menjadi Juara III.”
“Kenapa mesti Juara 3.”
“Pemenang 3 akan mendapatkan hadiah sneaker”
“Tapi itukan untuk laki-laki”
“Aku bisa mnukarkannya untuk sepatu cewek”
“Bagaimana kalau kau tidak bisa menjadi juara 3”
“Aku akan mendatkannya, aku akan mendapatkannya untukmu. Aku akan jadi juara 3”
Percakapan itupun ditutup dengan senyum menyimpul di wajah polos nan ceria mereka. Hanya sayang, ketika pertandingan berlangsung, meskipun telah berusaha sebisanya untuk menjadi Juara 3, tanpa disadari, ia justru tampil sebagai pemenang utama. Kesedihanpun segera mendera Ali. Ucapan Zahra terus menerus muncul di pikirannya.
Ceritapun diakhiri dengan sebuah adegan yang puitis nan dramatis. Ia duduk di kolam, tempat di mana ia memelihara ikan-ikan kesayangannya. Mencelupkan kaki-kakinya yang penuh luka setelah berlari berkilo-kilo meter. Dan tampaklah betapa Majid begitu mempertimbangkan dan mempertahankan ketulusan karakter tokoh-tokohnya. Dengan tenang, Ali membiarkan ikan-ikannya memakan luka-luka di kakinya yang terkelupas.
Menyimak setiap sekuen yang sungguh menyentuh dan membuat kita jadi bepikir dan merenung sejenak tentang arti berbagi dalam kebersamaan, tentang kesederhanaan, pantaslah jika film ini dianugrahi penghargaan dalam beberapa ajang festival internasional. Sebut sajaFajr Film Festival, World Film Festival, Newport International Film Festival, Warsaw International Film Festival, Singapore International Film Festival, termasuk juga dalam American Film Institute's festival.
Di sisi lain, menghadapi era yang penuh kekeran ini, Children of Heaven boleh jadi masih mennawarkan pertanyaan untuk kita semua. Dimanakah kini kejernihan, ketulusan serta kesederhanaan jiwa masa kanak-kanak kita? (sud)
Sabtu, 16 Januari 2010
SCREENING IRANIAN MOVIES IN BENTARA BUDAYA BALI
The Event Coordinator, Ni Made Frischa Aswarini, urges that the films created by Iranian directors that have won numerous awards in International film festivals. At the first day, we will watch “Children of Heaven”, created by Majid Majidi. It is start at 5:30 pm. This film which has ever selected as nominator in an Academy Award for Best Foreign Language tells about the lives of two brothers from a poor family with the struggle of extraordinary life. This effort is illustrated by his brother, Ali, who looking for a shoe for her sister. In addition, on the same day, at 7 pm, there is “Le Silence” directed by Mohsen Makhmalbaf.
The next day would be presented “Turtles Can Fly” directed by Bahman Ghobadi. No less interesting than the previous films, the story of this tragedy genre tells about the life of Agrin (Avaz Latif), who survive in refugee camps in an endless war. Implicitly it also tells the unusual love story between Agrin and Satellite. And the last film is “The Color of Paradise” (Majid Majidi) the story of Muhammad, a blind child who had hardly to try to be accepted by others, especially his father.
"The event is important to be held to introduce and increase young generation interest in film, especially the high quality films. Also expected to to drive the young generation into capable and critical person and could voice their argument through discussion. This screening will be held regularly, so keep in touch and join with us... ," added Frischa.
Friday, January 22 2010
4.30 pm : Children of Heaven (Majid Majidi)
7.00 pm : Le Silence (Mohsen Makhmalbaf)
Saturday, January 23 2010
4.30 pm : “Turtles Can Fly” (Bahman Ghobadi)
7.00 pm : “The Color of Paradise” (Majid Majidi)